Saturday, 06-October-2007, 08:50:02 2136 clicks Send this story to a friend Printable Version Langganan Artikel Pitoyo Dotcom
Lebaran atau Idulfitri, seringkali hanya menjadi ritual orang dewasa. Kekhusyukan atau kesyahduan berlebaran lebih banyak dirasakan oleh mereka yang sudah aqil baligh (dewasa secara agama). Idulfitri yang mengandung makna sebagai sebuah hari kembalinya kefitrahan manusia, hanya dipahami dan termaknai secara baik oleh mereka yang telah memiliki kemampuan pemahaman (nalar) yang tinggi. Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa Idulfitri yang merupakan 'penutup' dari rangkaian ibadah saum, adalah sebuah rangkaian ibadah dalam agama Islam, yang kerap menjadi tumpuan dan harapan setiap Muslim dewasa. Hal yang paling diimpikan dari orang muslim dewasa dari Idulfitri ini adalah ketercapaian keinginannya menjadi manusia bak seorang bayi yang baru lahir, yaitu menjadi orang yang suci-bersih.
Di luar kelompok orang tersebut, secara jelas bahwa ada anak yang dibawah usia aqil baligh, yaitu anak-anak usia dini. Bagi kelompok anak-anak usia dini atau anak-anak yang masih belajar di pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar, Lebaran kurang dapat mencapai makna yang sejati. Bahkan, kita sangat yakin mereka tidak tahu arti Idulfitri dan kefitrahan manusia seperti bayi yang baru lahir. BerLebaran, bagi mereka adalah suasana hari yang tidak lebih dari kesan 'selebritis' semata. Arti selebritis di sini bukan kesannya mirip kesan para artis (atau jangan-jangan sama!), melainkan makna Lebaran bagi anak-anak kita yang masih berada di tingkat usia pendidikan pra-sekolah maupun di tingkat pendidikan dasar, lebih banyak memahami dan memaknai Lebaran sebagai pesta sosial, yang penuh keceriaan, gelak tawa, penuh makanan, dan ramai.
Bahkan, untuk tahun-tahun yang lalu, berlebaran adalah bermain petasan, kembang api, dan makan ketupat, serta makan kari ayam. Dari pengalaman seperti itu, maka nilai perayaannya (celebrite) lebih menonjol, dibandingkan dengan nilai kesyahduannya Lebaran sebagai hari fitri.
Pertanyaan kita saat ini, adalah bagaimana ikhtiar kita, baik sebagai seorang kakak, seorang ayah, atau seorang ibu dapat membantu memberikan makna Lebaran yang berharga bagi adik-adik kita yang masih lucu-lucu ini? Bagaimana usaha kita untuk memaknakan Lebaran sebagai hari suci kepada anak usia dini?
Bila kita alpa untuk merenungkan pertanyaan ini, maka sinyalemen di awal tulisan akan semakin terbukti, yaitu anak-anak kita yang kecil, akan lebih memaknai Lebaran hanya sekadar sebuah pesta sosial belaka dan mereka kurang menemukan makna Lebaran yang lebih mendalam, lebih cocok untuk pengembangan pribadinya, dibandingkan dengan memaknai Lebaran sebagai pesta sosial belaka. Oleh karena itu, mau tidak mau, dengan kemampuan yang ada, dan lingkungan sosial yang kita miliki masing-masing, kita memiliki kewajiban memberikan lingkungan pembelajaran sosial kepada anak usia dini, mengenai berLebaran, sehingga anak kita mampu mengangkat 'denyut' makna hari suci.
Perlu ditegaskan di sini bahwa memang benar anak di usia dini, tidak mesti dan bahkan jangan sekali-kali memberikan beban pembelajaran yang tidak patut untuk diberikan kepadanya. Oleh karena itu, anak di usia dini tidak boleh dibebani dengan muatan kepentingan yang aneh-aneh. Dengan kata lain, kalau memang anak-anak kita baru mampu memahami Lebaran sebagai sebuah pesta kebahagiaan, biarkanlah mereka pahami seperti apa adanya. Jika bagi mereka makna Lebaran itu adalah makan ketupat, biarkanlah berkembang seperti itu adanya. Sebab, jika mereka diceramahi tentang makna Lebaran, terlebih lagi diceramahi dengan dalil agama atau kajian ilmiah, mereka akan semakin bengong, bingung dan tidak menyukai datangnya Lebaran.
Hal yang paling penting bagi kita saat ini, adalah memberikan suasana lingkungan Lebaran, sebagai bagian dari usaha sadar orang tua dalam membimbing dan membina tahapan perkembangan anak-anak. Inilah poin penting, dan kesadaran penting yang perlu kita garis bawahi dengan benar. Kita tidak mungkin merubah pesta sosial Lebaran anak-anak. Yang akan kita lakukan, adalah memberikan sentuhan pembelajaran atau sentuhan edukatif kepada anak-anak yang sedang merayakan pesta Lebaran.
Merujuk pada pemahaman seperti itu, dapat dijelaskan kembali bahwa anak usia dini adalah anak usia dini. Mereka bukan anak dewasa yang bisa dijejali dengan sejumlah informasi atau materi pembelajaran yang berat. Karena secara psikologi, bermain -bagi seorang anak usia dini-- merupakan salah satu tugas dalam tahap perkembangannya (development task). Dengan bermain atau metode permainan itu pula, kematangan dan kedewasaan anak kita akan berkembang secara normal dan optimal. Berkaitan dengan hal tersebut, bagi kita atau orang tua hal yang paling penting itu adalah menciptakan lingkungan sosial sebagai lingkungan belajar yang penuh suasana psikologis yang menyenangkan sesuai dengan tahap perkembangan psikologinya. Usaha ini adalah usaha yang relevan dan sangat mendukung untuk membangun lingkungan pendidikan di rumah bagi anak-anak di usia dini.
Lebaran atau Idulfitri, seringkali hanya menjadi ritual orang dewasa. Kekhusyukan atau kesyahduan berlebaran lebih banyak dirasakan oleh mereka yang sudah aqil baligh (dewasa secara agama). Idulfitri yang mengandung makna sebagai sebuah hari kembalinya kefitrahan manusia, hanya dipahami dan termaknai secara baik oleh mereka yang telah memiliki kemampuan pemahaman (nalar) yang tinggi. Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa Idulfitri yang merupakan 'penutup' dari rangkaian ibadah saum, adalah sebuah rangkaian ibadah dalam agama Islam, yang kerap menjadi tumpuan dan harapan setiap Muslim dewasa. Hal yang paling diimpikan dari orang muslim dewasa dari Idulfitri ini adalah ketercapaian keinginannya menjadi manusia bak seorang bayi yang baru lahir, yaitu menjadi orang yang suci-bersih.
Di luar kelompok orang tersebut, secara jelas bahwa ada anak yang dibawah usia aqil baligh, yaitu anak-anak usia dini. Bagi kelompok anak-anak usia dini atau anak-anak yang masih belajar di pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar, Lebaran kurang dapat mencapai makna yang sejati. Bahkan, kita sangat yakin mereka tidak tahu arti Idulfitri dan kefitrahan manusia seperti bayi yang baru lahir. BerLebaran, bagi mereka adalah suasana hari yang tidak lebih dari kesan 'selebritis' semata. Arti selebritis di sini bukan kesannya mirip kesan para artis (atau jangan-jangan sama!), melainkan makna Lebaran bagi anak-anak kita yang masih berada di tingkat usia pendidikan pra-sekolah maupun di tingkat pendidikan dasar, lebih banyak memahami dan memaknai Lebaran sebagai pesta sosial, yang penuh keceriaan, gelak tawa, penuh makanan, dan ramai.
Bahkan, untuk tahun-tahun yang lalu, berlebaran adalah bermain petasan, kembang api, dan makan ketupat, serta makan kari ayam. Dari pengalaman seperti itu, maka nilai perayaannya (celebrite) lebih menonjol, dibandingkan dengan nilai kesyahduannya Lebaran sebagai hari fitri.
Pertanyaan kita saat ini, adalah bagaimana ikhtiar kita, baik sebagai seorang kakak, seorang ayah, atau seorang ibu dapat membantu memberikan makna Lebaran yang berharga bagi adik-adik kita yang masih lucu-lucu ini? Bagaimana usaha kita untuk memaknakan Lebaran sebagai hari suci kepada anak usia dini?
Bila kita alpa untuk merenungkan pertanyaan ini, maka sinyalemen di awal tulisan akan semakin terbukti, yaitu anak-anak kita yang kecil, akan lebih memaknai Lebaran hanya sekadar sebuah pesta sosial belaka dan mereka kurang menemukan makna Lebaran yang lebih mendalam, lebih cocok untuk pengembangan pribadinya, dibandingkan dengan memaknai Lebaran sebagai pesta sosial belaka. Oleh karena itu, mau tidak mau, dengan kemampuan yang ada, dan lingkungan sosial yang kita miliki masing-masing, kita memiliki kewajiban memberikan lingkungan pembelajaran sosial kepada anak usia dini, mengenai berLebaran, sehingga anak kita mampu mengangkat 'denyut' makna hari suci.
Perlu ditegaskan di sini bahwa memang benar anak di usia dini, tidak mesti dan bahkan jangan sekali-kali memberikan beban pembelajaran yang tidak patut untuk diberikan kepadanya. Oleh karena itu, anak di usia dini tidak boleh dibebani dengan muatan kepentingan yang aneh-aneh. Dengan kata lain, kalau memang anak-anak kita baru mampu memahami Lebaran sebagai sebuah pesta kebahagiaan, biarkanlah mereka pahami seperti apa adanya. Jika bagi mereka makna Lebaran itu adalah makan ketupat, biarkanlah berkembang seperti itu adanya. Sebab, jika mereka diceramahi tentang makna Lebaran, terlebih lagi diceramahi dengan dalil agama atau kajian ilmiah, mereka akan semakin bengong, bingung dan tidak menyukai datangnya Lebaran.
Hal yang paling penting bagi kita saat ini, adalah memberikan suasana lingkungan Lebaran, sebagai bagian dari usaha sadar orang tua dalam membimbing dan membina tahapan perkembangan anak-anak. Inilah poin penting, dan kesadaran penting yang perlu kita garis bawahi dengan benar. Kita tidak mungkin merubah pesta sosial Lebaran anak-anak. Yang akan kita lakukan, adalah memberikan sentuhan pembelajaran atau sentuhan edukatif kepada anak-anak yang sedang merayakan pesta Lebaran.
Merujuk pada pemahaman seperti itu, dapat dijelaskan kembali bahwa anak usia dini adalah anak usia dini. Mereka bukan anak dewasa yang bisa dijejali dengan sejumlah informasi atau materi pembelajaran yang berat. Karena secara psikologi, bermain -bagi seorang anak usia dini-- merupakan salah satu tugas dalam tahap perkembangannya (development task). Dengan bermain atau metode permainan itu pula, kematangan dan kedewasaan anak kita akan berkembang secara normal dan optimal. Berkaitan dengan hal tersebut, bagi kita atau orang tua hal yang paling penting itu adalah menciptakan lingkungan sosial sebagai lingkungan belajar yang penuh suasana psikologis yang menyenangkan sesuai dengan tahap perkembangan psikologinya. Usaha ini adalah usaha yang relevan dan sangat mendukung untuk membangun lingkungan pendidikan di rumah bagi anak-anak di usia dini.
0 comments:
Posting Komentar